Monday, November 20, 2023

Novel Di Tanah Lada: Membaca Sang Pemenang II Lomba Novel DKJ 2014

Semasa kuliah di Mataram, saya membeli novel Tanah Tabu yang ditulis Anindita Siswanto Thayf. Saya memutuskan untuk membeli novel dengan cover anak kecil bergaun kumal itu karena tertulis sebagai Pemenang 1 pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Pikir saya kala itu, dengan membaca Tanah Tabu saya akan tahu seperti apa sih novel berkualitas yang berhasil melewati penilaian dewan juri DKJ. Setelah membacanya, saya lumayan paham mengapa, hehe.

Serupa dengan alasan membeli novel Tanah Tabu, ketika melihat novel Di Tanah Lada tersedia di iPusnas maka otomatis langsung masuk rak pinjaman. Nama penulisnya yang unik sebenarnya telah lebih dulu saya kenali sejak membaca seri Fantasteen berjudul Teru-Teru Bozu dan Ghost Dormitory Sydney, Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie atau lebih mudah bagi saya mengingatnya sebagai Ziggy Z.

Ada beberapa kesamaan yang saya sadari pada kedua novel ini. Pertama, judulnya sama-sama memilih kata Tanah. Satunya Tanah Tabu, dan satunya lagi Tanah Lada. Kedua, tokoh yang dipilih sebagai penutur dan sudut pandang (POV) cerita sama-sama anak kecil. Pada Tanah Tabu, tokoh Leksi mewakili cerita tentang tanah Papua, sedangkan sosok Ava pada novel Di Tanah Lada menceritakan konflik dalam keluarga, atau dalam pandangan saya ini tentang KDRT.

Gaya bertutur Ziggy dalam novel ini terbilang unik karena menggunakan gaya berceloteh anak-anak yang polos dan kadang mirip seperti meracau. Tokoh Ava yang kemudian saya tahu bernama Salva adalah bocah berumur 6 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari sang hantu. Nama lain hantu inilah yang membuat saya miris. Ava berujar pendek akan ketakutannya pada hantu.

Nama hantunya Papa.

Hal menyedihkan lainnya dalam novel ini adalah ketika Ava bercerita bahwa sang ayah awalnya ingin memberikan dia nama Saliva yang berarti ludah. Kreatifitas papanya saya rasa agak sesat disini. Saya rasa kita bisa membayangkan seperti apa karakter seseorang yang memilih kata ludah untuk menamai anaknya. Tapi syukurlah akhirnya ia diberi nama Salva yang berarti penyelamat. Rentetan celoteh atau saya sebut sebagai racauan tokoh Ava menggambarkan trauma akan perlakuan sang papa, kekerasan verbal, juga kekerasan fisik.

Kesedihan berbalut rasa geli saya rasakan ketika membaca dialog Ava dengan tokoh P yang menjadi temannya.

“Iya. Papaku jahat, sih. Aku sudah biasa”

“Oh ya? Papaku juga jahat kok, mungkin semua papa memang jahat.”

”Iya juga. Tapi nanti kamu juga jadi Papa. Nanti kamu juga jahat dong.”

“Kalau begitu aku nggak mau jadi Papa. Aku nggak mau jadi jahat.”

“Kamu jadi kakek saja. Kakek Kia baik soalnya.”

Tokoh anak-anak ini menyadari penolakan akan kehadiran mereka dari sosok Papa yang mereka kenal. Karena dunia mereka mirip, simpulan miris akan sosok Papa adalah orang jahat menjadi keyakinan bagi keduanya. Padahal tentu kita ketahui, tidak semua ayah berwatak seperti papa dalam novel ini.

Tokoh P seorang anak berumur 10 tahun yang memiliki keadaan keluarga yang sama dengan Ava. Bedanya, kekerasan fisik yang dialami P lebih hebat. Di part menuju ending, terungkap mengapa kekerasan yang dialami P lebih parah dibanding Ava. Sebuah plot twist yang membuat anak-anak ini akhirnya memilih memeluk kesedihan. Bukan ending yang saya harapkan dari novel yang tokohnya anak-anak. So sad.

Emosi pembaca dimainkan lewat tuturan polos anak-anak ini. Kesedihan dan luka hati mereka ditampilkan dalam dialog yang kadang membuat kita tertawa namun bukan tertawa. Ya, karena ada banyak dialog lucu juga menggelikan yang membuat saya tertawa namun merasa sedih ketika membaca novel ini.

Namun cara bertutur anak-anak ini di satu titik kadang agak membuat saya kesal karena seperti benar-benar mendengar anak kecil berceloteh berulang-ulang. Atau terkadang saya merasa sosok bocah ini menjadi kelewat dewasa. Saya rasa itu menjadi resiko penulis ketika memilih anak kecil sebagai tokoh penutur. Sekalipun kita yang dewasa ini sudah mengalami masa anak-anak namun kita tidak sepenuhnya mampu mengingat bagaimana kita memandang dunia ketika kecil. Jadi ketika kita yang dewasa ini mencoba merasuk untuk bertutur sebagai kanak-kanak kita tidak sepenuhnya menjadi anak-anak. Tetap ada sisi dewasa yang tak sepolos bocah dalam melihat dan memandang dunia. Hal inilah yang saya rasa membuat Ava di sebagian novel berhasil bertutur selayaknya bocah namun di separuh yang lain menjelma menjadi orang dewasa yang kerasukan anak kecil, atau anak kecil yang kerasukan orang dewasa. JIka ingin paham apa maksud saya, coba cek iPusnas lalu baca novel ini.

Sosok dewasa dalam novel, seperti mama Ava, kak Suri, Mas Alri, Om-om juga Tante- tante di sekitar mereka terkadang seperti sindiran akan kelalaian orang dewasa dalam memilih pilihan yang terbaik demi anak. Sosok mama Ava yang ditampilkan memiliki kasih sayang kepada Ava memberi saya gambaran akan keadaan perempuan di sekitar kita. Para ibu yang mengalami kekerasan dan memilih bertahan dalam ikatan keluarga, menjadikan banyak sosok Ava yang mungkin tidak secerdas Ava terkadang mengalami nasib malang.

Pada akhirnya saya melihat novel ini sebagai gambaran dan pelajaran betapa pilihan-pilihan orang dewasa bisa memberi dampak yang sangat besar pada nasib anak-anak.

Tentang Novel

Judul        : Di Tanah Lada
Penulis     : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit   : Gramedia  (2015)
Tebal       : 254 hal.
  

No comments:

Post a Comment