Monday, December 14, 2015

[Cerpen Writing Project #DearMama] 3 Aroma Ibu

Ibu?
Ia terkadang seperti kesedihan yang terlalu sempurna.
Ia jarang mengucap bahasa cinta, namun selalu memeluk kami dengan doa yang tak putus-putus. Agar kami sehat, kami cerdas dan mendapat jodoh yang baik. Yang setia. Yang tak gemar memberi luka, seperti bapak.
***
--Aroma hujan
Lukisan di kepalaku tentang ibu adalah sepasang payudara yang nampak layu dengan dominasi warna abu-abu. Sedangkan ingatan paling dalam yang kupunya  adalah sepasang matanya yang sembab di suatu sore. Awalnya kukira karena aku pulang terlambat dan dalam keadaan kotor pula sehabis bermain di genangan-genangan air yang ditinggalkan hujan. Tapi tidak! Bukan itu. Bertahun kemudian ketika aku telah remaja dan mampu membaca raut, aku paham alasannya menangis sore itu. Hatinya luka, dan mengetahui luka itu hatiku pun ikut luka.
Aroma hujan di bulan Desember membawa luka lain di hatiku. “Selamat ulang tahun,” kata ibu. Suaranya terdengar ceria. Dan sampai sekarang ia tak pernah tahu bahwa bulir tangisku pecah tanpa suara ketika di Desember 2010 itu ia mengucapkan selamat ulang tahun dan membawa sepasang sepatu yang ia beli di pasar dengan harga lima puluh ribu. Aku ingat bercerita tentang model sepatu baru yang kulihat sering dipakai teman-teman kampus. Ibu menemukan tiruannya di pasar, dan demi melihat kakiku memakainya ia menerobos hujan dan riuh pasar.
Menyadari itu hatiku terluka, aku merasa sangat buruk ketika di bulan yang sama aku bahkan lupa mengucapkan selamat padanya. Selamat untuk harinya, hari ibu.
Aku tahu, lamat-lamat di setiap turun hujan ia mendoakan kebaikan-kebaikan di sepanjang umurku.
“Berdoalah! Keluarkan doa terbaikmu, hujan itu membawa barakah nak,” pesannya. Dan ibu akan senyap sebentar, khusyuk pada pinta-pinta terbaiknya. Selalu… selalu tentang aku, kami. Anak-anaknya.

--Aroma Bawang Merah
            Kalian tahu apa masalah terbesar para bayi kebanyakan?
Berpisah dari puting ibunya.
Kalian tahu apa yang diharapkan anak sepulang sekolah?
Sepiring makanan hangat dan pelukan yang menyambutnya di pintu rumah.
Walaupun mungkin kecupan di keningnya dari bibir pucat yang tanpa lipstick dan pelukan itu beraroma kecut keringat. Baginya, ibu sendiri yang tercantik. Tapi mungkin tidak bagi bapak.
            Ibu harusnya bisa merawat diri, tuntut bapak. Namun waktunya yang 24 jam telah terkuras untuk di dapur dan sumur. Banyak mainan dan barang yang harus dirapikan. Ada setumpuk pakaian yang harus dicuci dan disetrika. Banyak tamu yang datang dan membutuhkan kopi. Banyak sanak yang harus dijamu.
Berhias? Ibu mandi dan mengenakan daster baru di sore hari. Selang beberapa menit. Waktunya makan malam. Ia akan masuk dapur dan terlihat bekerja cepat, membuat sambal bawang. Sambal tersaji, ada sembab di matanya, ada percikan sambal di daster barunya, dan oalah…. Aroma sabun itu telah terganti dengan aroma bawang. Tak apa bagiku, tak apa bagi kami anak-anaknya. Tapi mungkin tidak bagi bapak. Harusnya ibu wangi…. Harusnya.

--Aroma Kopi
Akan aneh jika aku terbangun tanpa ada aroma kopi. Sehabis subuh dengan masih mengenakan telekung, ibu akan sibuk menyeduh kopi. Untuknya… untuk bapak.
Aku selalu bertanya-tanya mengapa ibu bertahan dalam ikatan pernikahan yang telah melukainya sebegini banyak. Namun ternyata waktu telah mengikatnya dalam kenangan. Kata ibu, luka adalah bagian dari kenangannya. Namun ia juga punya banyak hal-hal manis yang ia simpan dalam peti ingatan.
Bagiku itu mungkin seumpama kopi yang selalu ia seduh sehabis subuh. Untuknya, untuk bapak.  
Mungkin bukan waktunya untuk heran. Bukankah kita tahu rasa kopi? Kenangan ibu pastilah seumpama itu. Pekat, pahit namun ia tetap menyeduhnya setelah berpuluh-puluh subuh, karena mungkin wangi kopi itu telah mengikat indra penciumnya, dan rasanya pastilah juga telah melekat pada cecap lidahnya.
***
Ibu?
Ia memang terkadang seperti kesedihan yang terlalu sempurna, namun aku hampir lupa ia juga pernah tersenyum, dan menangis tertawa karena lelucon bapak. Mungkin aku yang lupa dan mencoba melukis wajahnya dengan ingatan yang patah-patah. Mungkin aku yang tak lihai mengenal bahasa bahagianya. Mungkin aku perlu membersamainya saat gerimis turun di Desember ini, berbicara sambil menyeruput kopi dari cangkir yang sama. Berbicara tentang entah, lalu merencanakan yang nanti-nanti.
Tiba-tiba rindu ibu. Ingin pulang dan memeluknya. Namun sebelum itu dalam gerimis yang luruh satu-satu di magrib ini, kuamini sebuah doa dariku sendiri untuk ibu. Agar nanti mimpinya yang paling dalam, yang mungkin sering lupa ia panjatkan karena doanya sibuk mendahulukan kebaikan-kebaikan untuk kami dapat tercapai. Mimpinya sama dengan mimpi seorang tua di kampungku. Menjejakkan kaki di tanah suci, lagi-lagi aku yakin di sana.. ibu akan kembali memeluk kami dengan doanya. Agar kami sehat, kami cerdas. Ya…agar kami anak-anaknya ini…bahagia.


Catatan: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan oleh nulisbuku.com dan Storial.co