Ibu?
Ia
terkadang seperti kesedihan yang terlalu sempurna.
Ia
jarang mengucap bahasa cinta, namun selalu memeluk kami dengan doa yang tak
putus-putus. Agar kami sehat, kami cerdas dan mendapat jodoh yang baik. Yang setia.
Yang tak gemar memberi luka, seperti bapak.
***
--Aroma hujan
Lukisan di kepalaku
tentang ibu adalah sepasang payudara yang nampak layu dengan dominasi warna
abu-abu. Sedangkan ingatan paling dalam yang kupunya adalah sepasang matanya yang sembab di suatu
sore. Awalnya kukira karena aku pulang terlambat dan dalam keadaan kotor pula
sehabis bermain di genangan-genangan air yang ditinggalkan hujan. Tapi tidak! Bukan
itu. Bertahun kemudian ketika aku telah remaja dan mampu membaca raut, aku
paham alasannya menangis sore itu. Hatinya luka, dan mengetahui luka itu hatiku
pun ikut luka.
Aroma hujan di bulan Desember
membawa luka lain di hatiku. “Selamat ulang tahun,” kata ibu. Suaranya
terdengar ceria. Dan sampai sekarang ia tak pernah tahu bahwa bulir tangisku
pecah tanpa suara ketika di Desember 2010 itu ia mengucapkan selamat ulang
tahun dan membawa sepasang sepatu yang ia beli di pasar dengan harga lima puluh
ribu. Aku ingat bercerita tentang model sepatu baru yang kulihat sering dipakai
teman-teman kampus. Ibu menemukan tiruannya di pasar, dan demi melihat kakiku
memakainya ia menerobos hujan dan riuh pasar.
Menyadari itu hatiku
terluka, aku merasa sangat buruk ketika di bulan yang sama aku bahkan lupa
mengucapkan selamat padanya. Selamat untuk harinya, hari ibu.
Aku tahu, lamat-lamat
di setiap turun hujan ia mendoakan kebaikan-kebaikan di sepanjang umurku.
“Berdoalah! Keluarkan
doa terbaikmu, hujan itu membawa barakah nak,” pesannya. Dan ibu akan senyap
sebentar, khusyuk pada pinta-pinta terbaiknya. Selalu… selalu tentang aku,
kami. Anak-anaknya.
--Aroma
Bawang Merah
Kalian tahu apa masalah terbesar para bayi
kebanyakan?
Berpisah dari puting ibunya.
Kalian tahu apa yang
diharapkan anak sepulang sekolah?
Sepiring makanan
hangat dan pelukan yang menyambutnya di pintu rumah.
Walaupun mungkin kecupan di
keningnya dari bibir pucat yang tanpa lipstick dan pelukan itu beraroma kecut
keringat. Baginya, ibu sendiri yang tercantik. Tapi mungkin tidak bagi bapak.
Ibu
harusnya bisa merawat diri, tuntut bapak. Namun waktunya yang 24 jam telah
terkuras untuk di dapur dan sumur. Banyak mainan dan barang yang harus
dirapikan. Ada setumpuk pakaian yang harus dicuci dan disetrika. Banyak tamu
yang datang dan membutuhkan kopi. Banyak sanak yang harus dijamu.
Berhias? Ibu mandi
dan mengenakan daster baru di sore hari. Selang beberapa menit. Waktunya makan
malam. Ia akan masuk dapur dan terlihat bekerja cepat, membuat sambal bawang.
Sambal tersaji, ada sembab di matanya, ada percikan sambal di daster barunya,
dan oalah…. Aroma sabun itu telah terganti dengan aroma bawang. Tak apa bagiku,
tak apa bagi kami anak-anaknya. Tapi mungkin tidak bagi bapak. Harusnya ibu
wangi…. Harusnya.
--Aroma
Kopi
Akan aneh jika aku
terbangun tanpa ada aroma kopi. Sehabis subuh dengan masih mengenakan telekung,
ibu akan sibuk menyeduh kopi. Untuknya… untuk bapak.
Aku selalu
bertanya-tanya mengapa ibu bertahan dalam ikatan pernikahan yang telah
melukainya sebegini banyak. Namun ternyata waktu telah mengikatnya dalam
kenangan. Kata ibu, luka adalah bagian dari kenangannya. Namun ia juga punya
banyak hal-hal manis yang ia simpan dalam peti ingatan.
Bagiku itu mungkin
seumpama kopi yang selalu ia seduh sehabis subuh. Untuknya, untuk bapak.
Mungkin bukan
waktunya untuk heran. Bukankah kita tahu rasa kopi? Kenangan ibu pastilah
seumpama itu. Pekat, pahit namun ia tetap menyeduhnya setelah berpuluh-puluh
subuh, karena mungkin wangi kopi itu telah mengikat indra penciumnya, dan
rasanya pastilah juga telah melekat pada cecap lidahnya.
***
Ibu?
Ia memang terkadang
seperti kesedihan yang terlalu sempurna, namun aku hampir lupa ia juga pernah tersenyum,
dan menangis tertawa karena lelucon bapak. Mungkin aku yang lupa dan mencoba
melukis wajahnya dengan ingatan yang patah-patah. Mungkin aku yang tak lihai mengenal
bahasa bahagianya. Mungkin aku perlu membersamainya saat gerimis turun di
Desember ini, berbicara sambil menyeruput kopi dari cangkir yang sama. Berbicara
tentang entah, lalu merencanakan yang nanti-nanti.
Tiba-tiba rindu ibu.
Ingin pulang dan memeluknya. Namun sebelum itu dalam gerimis yang luruh
satu-satu di magrib ini, kuamini sebuah doa dariku sendiri untuk ibu. Agar
nanti mimpinya yang paling dalam, yang mungkin sering lupa ia panjatkan karena
doanya sibuk mendahulukan kebaikan-kebaikan untuk kami dapat tercapai. Mimpinya
sama dengan mimpi seorang tua di kampungku. Menjejakkan kaki di tanah suci,
lagi-lagi aku yakin di sana.. ibu akan kembali memeluk kami dengan doanya. Agar
kami sehat, kami cerdas. Ya…agar kami anak-anaknya ini…bahagia.
Catatan: Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan oleh
nulisbuku.com dan Storial.co